Teka Teki Hewan

Aku hidup di laut
Aku sering dianggap ikan, padahal bukan
Aku adalah hewan menyusui 
Aku suka menyemburkan air dari atas kepalaku
Tahukah kamu, siapa aku?


Quotation



Ayah...
Pahlawan pertama bagi puteranya
Cinta pertama bagi puterinya

Legenda Batu Menangis


Dahulu kala, seorang janda hidup di sebuah desa di Kaimantan Barat bersama anak gadisnya.
Sejak suaminya meninggal, sang ibu bekerja keras menjadi buruh tani. Ia membantu mengerjakan sawah orang lain karena ia tidak mempunyai sawah sendiri.

Anak gadisnya sudah beranjak dewasa dan mempunyai wajah yang cantik rupawan. Sayang, perilaku gadis itu tidak secantik parasnya. Ia tidak pernah mau membantu ibunya bekerja. Membersihkan rumah atau mencuci baju, sama sekali tak mau dikerjakannya. Apalagi membantu ibunya di sawah. Ia hanya merias wajahnya saja, kemudian pergi ke rumah teman-temannya.

Ketika ibunya menerima upah untuk jerih payahnya di sawah, sang gadis sudah menunggu di rumah. Begitu ibunya tiba di rumah, ia langsung meminta dibelikan baju atau alat kecantikan.  Kadang-kadang seluruh uang hasil kerjanya ibunya habis sehingga tidak ada uang lagi untuk membeli makanan atau keperluan lain.

Pada suatu hari, sang ibu pulang dari sawah. Ia merasa heran mengapa puterinya tidak meminta uang. Si ibu berharap anaknya sudah mulai sadar dan merasa iba pada ibunya.

Ternyata tidak demikian. “Bu, besok ibu pergi ke pasar ya bu,” kata gadis itu.

“Ibu besok bekerja di sawah, nak,” jawab ibunya. “Sudah musim tanam, ibu harus bekerja tiap hari.”
“Sehari saja ibu tidak ke sawah kan tidak apa-apa, bu,”  kata gadis itu lagi. “Ibu pergi ke pasar saja, belikan aku bedak yang baru datang di kota. Semua temanku sudah membelinya.”

“Kau ajaklah temanmu ke pasar, nak. Ibu tidak tahu bedak seperti apa yang kau inginkan.” Ibu itu tahu, bila ia salah membelikan bedak, anak gadisnya akan marah dan membuang bedak itu. Dan ia akan meminta ibunya membeli bedak yang diinginkannya.

“Aku tidak mau pergi bersama temanku,” kata gadis itu sambil cemberut. “Nanti mereka tahu bahwa uangku hanya sedikit,”

“Kalau begitu besok kau ikut ibu ke kota.”

Gadis itu tidak mau ikut ke pasar di kota tapi ibu memaksanya. Karena ingin membeli bedak itu, akhirnya ia mau juga pergi dengan ibunya.

Esok harinya, mereka berdua berangkat ke kota. Sang gadis memakai bajunya yang paling bagus, sedangkan ibunya memakai baju yang sudah tua.

Perjalanan ke kota cukup jauh. Hari makin siang dan matahari makin terik. Si gadis berpayung agar terlindung dari panas matahari. Ibunya dibiarkannya kepanasan.

Mereka berpapasan dengan seorang pemuda. “Nona,” kata pemuda itu, “mengapa kau memakai payung sendiri saja? Lihat ibumu kepanasan.”

“Oh, tidak apa-apa,” kata gadis itu sambil mempercepat langkahnya sehingga ibunya tertinggal di belakang.

Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan orang dari desa tetangga mereka. Orang itu mengenal gadis itu tapi tidak pernah bertemu dengan ibunya. Ia menyapa, “Berjalanlah perlahan sedikit, nona. Ibumu tertinggal.”

“Kau kira ia ibuku?” gadis itu tertawa. “Bukan, ia bukan ibuku.”

“Kukira kalian pergi bersama-sama.”

“Dia memang bersama-sama, tapi dia bukan ibuku.”

“Bukan ya?” kata orang itu lagi. “Wajah kalian mirip.”

“Masa kami mirip?” kata gadis itu, ia mulai kesal. “Dia kan pembantuku.”

Gadis itu makin  mempercepat langkahnya sampai setengah berlari. Setelah orang tadi tidak terlihat lagi, ia berteriak pada ibunya. “Ayo bu, cepatlah sedikit. Aku ingin segera ke pasar lalu pulang. Ibu membuatku malu saja!”

Ibu terkejut dan sedih sekali mendengar kata-kata anaknya. Ia berhenti berjalan dan hanya berdiri diam. Dalam hati ia memohon kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka.

Gadis itu tiba-tiba sadar bahwa ibunya tidak mengikutinya. Ia sangat marah. Ia berkata, “Sudah ibu pulang saja. Berikan uangnya, aku sendiri saja ke pasar.”

Ia ingin menghampiri ibunya dan meminta semua uangnya. Tapi ia tidak dapat mengangkat kakinya. Kedua kakinya kaku dan tidak dapat bergerak. Bahkan kakinya mulai menghitam. Ia menyentuh kakinya yang sudah berubah menjadi batu.
“Ibu!” jeritnya ketakutan. “Kenapa kakiku,bu? Kakiku jadi batu!”

Sekarang ia tahu bahwa ia mendapat hukuman karena durhaka kepada ibunya. “Ibu, tolong! Ampuni aku.”

“Aku akan menjadi anak baik, bu... Ampuni aku.”

Sang ibu sangat menyesal. Tapi tidak ada yang dapat dilakukannya. Perlahan-lahan seluruh tubuh gadis itu berubah menjadi batu. Ia menangis. Bahkan ketika tubuhnya sudah membatu seluruhnya, ia masih menitikkan air mata.

Kisah ini masyarakat setempat dianggap benar-benar terjadi. Batu yang dipercaya merupakn penjelmaan gadis cantik yang durhaka kepada ibunya itu masih ada sampai sekarang dan disebut Batu Menangis.