Dahulu kala, di ujung timur pulau Jawa berdiri sebuah
kerajaan besar. Kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang bijaksana. Raja
memiliki seorang putera bernama Raden Banterang.
Raden Banterang adalah seorang pemuda yang gagah
berani. Sayangnya, pangeran muda itu
sering bertindak gegabah. Ia sering bertindak
tanpa memikirkan lebih dahulu akibat perbuatannya.
Pada suatu hari, Raden Banterang pergi ke hutan untuk berburu.
Ia mengejar seekor rusa jauh ke tengah hutan. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang gadis. Raden
Banterang keheranan, mengapa gadis
cantik itu berjalan sendirian di tengah hutan?
“Siapa kamu? Mengapa kamu ada di hutan ini?”
“Namaku Surati. Ayahku raja kerajaan Klungkung.
Ayahanda terbunuh dalam peperangan. Musuh mengejarku, untung aku berhasil lari
dan bersembunyi di hutan ini,” kata gadis itu.
Raut muka Surati menjadi sedih dan air matanya mengalir.
“Entah bagaimana nasib ibu dan kakakku. Kami terpisah.”
Raden Banterang iba mendengar cerita Surati. Ia
kemudian mengajak gadis itu pulang ke istana. Beberapa hari kemudian mereka
menikah.
Pada suatu hari, seperti biasa Raden Banterang pergi
berburu. Isterinya mengantarkannya ke gerbang istana.
Di tepi hutan, Raden Banterang bertemu dengan pengemis berpakaian
robek-robek. Raden Banterang memberikan
sedekah kepada pengemis itu.
“Tuanku,” kata pengemis, “Aku akan memberitahukan
sebuah rahasia kepadamu.”
“Rahasia?” sahut Raden Banterang, “Coba ceritakan
kepadaku.”
“Tuan,” kata pengemis, “Berhati-hatilah pada isteri
tuan. Ia minta bantuan seorang laki-laki untuk membunuh tuanku.”
Raden Banterang tertawa geli. “Wah, pengemis ini pasti
kurang waras pikirannya. Bagaimana mungkin Surati yang begitu lemah lembut tega
melakukan itu? Lagi pula pengemis ini kan tidak kenal aku dan isteriku?”
Pengemis itu berkata, “ Tuan akan percaya kepadaku bila melhat bukti kejahatannya. Isteri tuankui menyimpan barang milik laki-laki itu di bawah bantalnya.”
Kemudian ia pergi.
Raden Banterang pulang ke istana. Ia merasa gelisah. Ia
tidak percaya kepada si pengemis, namun kata-kata pengemia itu terus mengganggu
pikirannya. Ia kemuudian menuju tempat tidurnya dan mengangkat bantal
isterinya. Betapa terperanjatnya ketika ia menemukan sebuah ikat kepala
laki-laki di bawah bantal itu.
Raden Banterang sangat marah. Beraninya Surati yang
dulu hidup sebatang kara di hutan, yang ditolong dan kemudian dinikahinya sekarang berbuat keji kepadanya. “Sebelum ia
mencelakaiku, lebih baik aku berjaga-jaga.”
Diajaknya
isterinya berjalan-jalan di tepi sungai. Ia kemudian menceritakan pertemuannya
dengan pengemis di hutan.
“Kanda,” kata Surati, “Jangan percaya cerita
pengemis itu, saya tidak pernah memiliki
niat jahat kepada kanda.”
“Ini apa?” kata Raden Bentareng sambil menunjukkan ikat
kepala yang ditemukannya.
Surati kemudian menuturkan bahwa setelah suaminya
berangkat berburu, ia bertemu dengan seorang pengemis berpakaian robek-robek di
gerbang istana. Ternyata pengemis itu adalah
kakak kandungnya, Rupaksa. Surati sangat gembira karena selama ini ia mengira
kakaknya itu sudah meninggal.
Tak disangkanya Rupaksa
menyimpan dendam kepada keluarga suaminya. Rupaksa menyuruhnya membunuh
suaminya sendiri untuk membalas dendam. Surati tidak mau. Kakaknya sangat
marah. Walaupun Surati mengatakan bahwa keluarga suaminya tidak pernah terlibat
perang dengan kerajaan Klungkung, kakaknya tetap ingin membunuh Raden
Banterang. Akhirnya Rupaksa memberikan ikat kepalanya kepada Surati dan
menyuruhnya meletakkannya di bawah bantal.
“Aku tak percaya kepadamu,” kata Raden Banterang kepada
isterinya. “Rencanamu kali ini gagal, namun suatu saat nanti pasti kau
mencobanya lagi.”
Raden Banterang menghunus kerisnya dan berjalan
mendekati isterinya.
“Kanda,” kata Surati, “Aku tidak berdusta. Aku akan
membuktikannya. Bila aku bersalan, air
sungai ini akan menjadi keruh dan berbau busuk. Namun sebaliknya bila aku tidak
bersalah, air akan jernih dan berbau
wangi”
Ia kemudian melompat ke dalam sungai sebelum suaminya
sempat mencegah. Raden Banterang merasa
sedih karena isterinya tenggelam sekaligus lega karena ia tak perlu membunuh
isterinya sendiri.
Raden Banterang beranjak pulang. Tiba-tiba bertiup
angin bertiup dari arah sungai membawa bau harum semerbak. Air sungai berubah
menjadi jernih bekilauan. Raden Banterang sangat menyesal. Tahulah ia bahwa
isterinya tidak bersalah. Namun semuanya
telah terlambat. Sejak itu tempat itu dikenal sebagai Banyuwangi yang artinya air yang harum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar