Tampe Ruma Sani
Pada zaman dahulu,
hiduplah Alkisah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di
kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan
ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik
laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan
Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu. Ia harus mengerjakan pekerjaan rumah
tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang
janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat
ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual ikan lebih
murah dari orang lain, agar cepat habis sehingga saya bisa cepat pulang untukmenanak nasi
untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya
kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan dengan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab
Tampe Rurna Sani.
“Mengapa bukan adikmu yang
memasak?”
“Adik saya masih kecil,
belum bisa memasak.” Janda itu bertanya bermacam-macam hal kepada Tampe Ruma
Sani.
“Sampaikan salamku kepada
ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat
tembe (sarung), sambolo (destar\ikat kepala) dan ro sarowa (celana) untuk
ayahmu”, kata janda itu dengan manis.“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada
ayah.” Tak lama kemudian, janda itu menikah
dengan ayahnya, dan menjadi ibu tirinya.
Sekarang Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak.
Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ia ikut menumbuk padi.
Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan
dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya
sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya
berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang
baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada
suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan
makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi
menir (nasi dari beras yang hancur). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani
memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan
ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada
ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak
berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Sebenarnya sama saja,
pak. Lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab
istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada
di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya
datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah
kepada Tampe Ruma Sani yang berani melapor kepada ayahnya. Setelah suaminya
pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma
Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun
ikut menangis.
“Kalau kalian berani
melapor kepada ayahmu lagi, akan kubunuh
kalian!” ancam ibu tirinya.
Perlakuan kasar telah
biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu
kepada ayahnya, karena takut kepada ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah menginjak
dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk
mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya.
Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar,
ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama
Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau
meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa
ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini
sudah besar. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang
sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun
dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi harinya kedua anak
itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi bungkus. Sang ayah
mengantarkan sampai ke batas desa.
Kedua anak itu berjalan
menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang
kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya.
Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai. “Kak, saya capai dan
lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya. Mereka mencari tempat yang teduh.
Mereka mulai membuka bekal dari ibu tirinya, tapi tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar
sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu
berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan
membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium
lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari
bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati
memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang,
dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya
kencang-kencang untuk menahan lapar, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan
perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah
hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan
mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban.
Diketuknya pintu sekali lagi, tetap tidak
ada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata
pintu itu tidak dikunci. Ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu
tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah
diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja
tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak
tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam
rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.Mereka
duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat
terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di
atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena
kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka
berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia.
Mereka semakin terheran-heran, namun seolah tidak mampu berpikir dari mana datangnya semuanya
itu.
Untuk menjaga kemungkinan
makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam
karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakaknya, “Kak,
biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar.
Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan
sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi
jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Kebetulan hulubalang raja
yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di
tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada
seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga
rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi
membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati
berdoa semoga adiknya cepat datang.
Karena ketukan pintunya
tidak mendapat jawaban, maka hulubalang raja itu turun, dan memeriksa kolong
rumah itu. Ia melihat rambut yang terjurai di bawah kolong. Lalu, ia pun
menarik rambut itu. Rambut itu adalah rambut Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik,
ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu terkejut. Ia lidak mengira,
rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun,
Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka.
Hulubalang itu segera
kembali ke kerajaan melaporkan peristiwa itu kepada raja.Mendapat laporan yang
demikian, raja bersama beberapa hulubalang yang lain segera menuju hutan di
mana rumah itu berada.
Raja meminta agar pintu
dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak berani membukanya. Akhirnya, pintu
itu pun didobrak beramai-ramai. Tampe Ruma Sani berteriak ketakutan.
“Jangan takut! Aku raja di
negeri ini”.
Pada saat itu, Mahama Laga
Ligo datang. “Saya datang, Kak. Bukalah pintu!”
Tampe Ruma Sani membukakan
pintu dan memperkenalkan sang raja dan para hulubalang. Dan mereka pun dibawa
ke istana dan Tampe Rurna Sani dijadikan permaisurinya.
Langganan:
Postingan (Atom)