Dahulu
kala hiduplah seorang raja dengan tiga orang puterinya. Raja ingin tahu siapa
di antara ketiga puterinya yang akan dijadikannya sebagai pewaris kerajaannya.
Ia memanggil puteri-puterinya dan
bertanya berapa besar cinta sang puteri kepada dirinya.
“Ayahanda,” jawab puteri sulung,
“aku mencintai ayah seperti aku mencintai mata dan hatiku, lebih dari kebebasan
dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Tak ada anak perempuan yang
mencintai ayahnya lebih besar dari aku.”
Raja sangat senang dan bahagia
mendengar kata-kata anak tertuanya.
Puteri kedua berkata, “Aku mencintai ayah lebih dari aku mencintai sinar matahari. Aku mencintaimu lebih dari surga dan tempat manapun di dunia. Aku tidak dapat mencintai seseorang atau sesuatu lebih dari aku mencintai ayah.”
Raja sangat puas dengan jawaban puteri kedua. Lalu ia bertanya kepada puteri bungsunya, yang sangat disayanginya.
Puteri kedua berkata, “Aku mencintai ayah lebih dari aku mencintai sinar matahari. Aku mencintaimu lebih dari surga dan tempat manapun di dunia. Aku tidak dapat mencintai seseorang atau sesuatu lebih dari aku mencintai ayah.”
Raja sangat puas dengan jawaban puteri kedua. Lalu ia bertanya kepada puteri bungsunya, yang sangat disayanginya.
“Ayahanda, aku mencintaimu
seperti orang-orang mencintai garam,” kata puteri bungsu singkat.
Raja marah dan sangat kecewa
mendengar jawaban puteri bungsu. “Seperti garam?” kata raja geram. “Aku akan
lebih senang bila kamu mengatakan gula yang manis atau sesuatu yang lain. Tapi
kau berkata kau mencintaiku seperti garam. Sama saja kau berkata bahwa kau
tidak mencintaiku sama sekali!”
Raja mengusir puteri bungsu. “Aku tidak mau melihatmu lagi.”
Raja mengusir puteri bungsu. “Aku tidak mau melihatmu lagi.”
Raja yakin puteri sulunglah yang akan diangkatnya sebagai
penggantinya. Puteri kedua yang mengharapkan akan menjadi ratu sangat marah. Ia
pergi meninggalkan ayahnya dan tinggal di istana suaminya.
Puteri pertama merasa yakin bahwa
ia akan menjadi pengganti ayahnya. Kedua adiknya sudah pergi dan ia menjadi
calon satu-satunya. Ia mulai bersikap tidak sopan kepada ayahnya, demikian juga
dengan suaminya.
Raja sangat sedih. Ia sudah makin
tua dan belum menemukan pengganti yang pantas memimpin kerajaannya.
Setelah diusir ayahnya, puteri bungsu pergi dari istana dengan sedih. Ia terus
berjalan hingga tiba di sebuah istana. Ia melamar menjadi pelayan yang bekerja
di dapur istana. Kepandaiannya memasak dan kejujurannya membuat ia dengan cepat
diangkat ke jabatan yang makin tinggi hingga akhirnya ia menjadi koki istana.
Raja muda di istana itu akan
segera menikah. Puteri bungsu dipercaya menyiapkan hidangan pesta besar yang
akan diselenggarakan selama tiga hari tiga malam.
Puteri bungsu tahu ayahnya pasti
hadir dalam pesta perkawinan raja muda. Dengan hati-hati ia menyiapkan hidangan
istimewa untuk ayahnya, tapi tanpa garam sama sekali.
Ketika raja menghadiri pesta
perkawinan, makanan yang sangat menarik dihidangkan ke mejanya. Raja sangat
ingin menyantap semua hidanga itu. Tapi tiap kali ia mencicipi satu hidangan,
seleranya hilang, semua makanan seolah tanpa rasa.
Akhirnya raja tidak dapat menahan
rasa ingin tahunya, apakah hanya dirinya yang tidak dapat merasakan lezatnya
hidangan yang mewah itu? Ia minta koki istana dipanggil.
Puteri bungsu menghadap ayahnya
dengan menundukkan wajahnya. Raja tidak mengenali anaknya itu.
“Nona,” kata raja. “Apakah benar
kau yang menyiapkan makanan ini?”
“Benar, Yang Mulia,” kata puteri
bungsu.
“Mengapa makanan ini tidak
mempunyai rasa lezat seperti makanan tamu lain? Apakah kau lupa menambahkan
sesuatu... ehm, misalnya garam?”
“Mohon maaf, Yang Mulia, saya
mendengar Anda tidak menyukai garam.”
“Siapa yang mengatakan itu
padamu?” kata raja. “Tunggu sebentar, siapa kau ini?”
Puteri bungsu mendongakkan
wajahnya. “Ayahanda, ini aku.”
Sadarlah sang raja mengapa waktu
itu puteri bungsunya mengatakan bahwa ia mencintai ayahnya seperti mencintai
garam. Garam sangat penting dalam kehidupan manusia.
“Oh anakku. Maafkan aku yang
bodoh ini,” kata raja sambil memeluk puteri bungsu. “Aku marah kepadamu karena kau
berkata jujur. Sekarang aku tahu jawabanmu sama pentingnya dengan kedua
kakakmu, dan kau mengatakannya dengan jujur dan tulus. ”
Raja mengajak puteri bungsu
kembali ke istana. Sekarang raja tahu siapa yang paling cocok menjadi
penggantinya.
(Diadaptasi dari Drama “King Lear”
karya William Shakepeare)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar