Pada suatu hari, kancil sedang minum di tepi sungai, ketika seekor buaya menggigit kakinya. Beberapa buaya lain juga berenang mendekat. Kancil tahu ia harus segera menemukan akal untuk menyelamatkan diri.
“Halo bapak buaya,” kata kancil sambil menyembunyikan suaranya yang gemetar. “Kebetulan kita bertemu di sini, jadi aku tidak perlu memanggil kalian.”
Para buaya bingung, mengapa kancil ingin bertemu dengan mereka? Buaya yang menggigit kaki kancil bahkan sudah melepaskan gigitannya. Kancil bisa saja melarikan diri, namun ia tahu buaya dapat bergerak dengan sangat cepat. Ia pasti tertangkap lagi.
“Begini, bapak ibu,” lanjut kancil. “Aku diperintah oleh Baginda Raja untuk menghitung jumlah penduduk hutan ini. Berapa jumlah buaya di sungai ini?”
Para buaya saling berpandang-pandangan. Mereka tidak tahu berapa jumlah buaya yang ada di sana.
Kancil menunggu sejenak.
“Kalian tidak tahu?” tanya kancil. Para buaya menggeleng.
“Baiklah.” kata kancil. “Panggil semua buaya kemari.”
Semua buaya datang. Kancil pun mulai menghitung buaya sambil menunjuk-nunjuk. Ia tampak kesulitan menghitung.
“Lebih baik kalian berjajar dari sini ke seberang sana. Aku akan lebih mudah menghitung kalian.”
Para buaya sibuk berjajar. Kancil kemudian menghitung mereka dengan melompat-lompat dari punggung buaya yang satu ke yang lain.
“Satu... dua... tiga... sembilan belas... tiga puluh satu... enam puluh... enam puluh satu, dan terakhir, enam puluh dua!” kata kancil sambil melompat ke tepi sungai di seberang.
Namun kancil masih kelihatan bingung. Ia bergumam keras-keras, “Berapa ya tadi? Enam puluh dua atau enam puluh tiga?”
Para buaya mulai beranjak dari barisannya.
“Eh,” kata kancil. “Jangan bubar dulu. Lebih baik kuhitung sekali lagi.”
Kancil pun kembali melompat-lompat menghitung buaya kembali ke tepi sungai tempat tadi ia minum.
“... Lima puluh sembilan... enam puluh... enam puluh satu... enam puluh dua!”
“Ternyata benar jumlahnya enam puluh dua. Sekarang aku harus melapor kepada Baginda. Terima kasih ya!”
Ia pun lari ke dalam hutan. Karena akalnya yang cerdik, kancil sekali lagi lolos dari bahaya.