Dahulu kala hiduplah seorang laki-laki
bernama Nusa. Ia tinggal bersama isteri dan adik iparnya. Untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya, Nusa bekerja di sawah dan menangkap ikan.
Suatu ketika terjadi musim kemarau
panjang. Sungai dan mata air kering. Tanamanpun layu bahkan sebagian mati. Nusa
seperti halnya warga lain mengalami kesulitan mendapatkan air. Tanaman di
sawahnya layu dan mati. Sementara itu air sungai surut sehingga ia tidak dapat
menangkap ikan.
Nusa memutuskan untuk mengajak isteri
dan adiknya pindah ke daerah lain yang masih mempunyai persediaan air. Mereka
berangkat menaiki sebuah perahu kecil menuju hilir sungai Rungan.
Di tengah jalan, perjalanan mereka
terhambat sebatang pohon tumbang yang melintang di atas sungai. Mereka harus
memotong-motong batang pohon itu agar bisa melanjutkan perjalanan. Nusa dan
adik iparnya memotong batang pohon itu dengan kapak. Mereka harus bekerja
sangat lama karena pohon itu besar sekali. Nusa menjadi lapar sekali. Ia
kemudian mengajak adik iparnya mencari makanan di hutan.
Nusa menemukan sebutir telur besar. Besarnya
kira-kira dua kali ukuran telur angsa. Nusa merebus telur itu. Karena isteri
dan adiknya tidak mau makan telur itu, Nusa menghabiskannya sendiri, walaupun
isteri dan adik iparnya melarangnya makan telur itu.
Tengah malam tiba. Nusa yang sudah
terlelap tiba-tiba terbangun karena merasa gatal di seluruh tubuhnya. Kulitnya
dipenuhi bintik-bintik merah dan sangat gatal. Nusa menggaruk-garuk tubuhnya.
Bahkan isteri dan adik iparnya ikut membantu menggaruk, tapi Nusa tetap
merasakan gatal tak tertahankan. Adik iparnya pergi mencari bantuan di
perkampunga terdekat.
Esoknya, bintik-bintik merah yang
memenuhi sekujur tubuh Nusa berubah menjadi sisik-sisik. Tubuh Nusa juga
berubah memanjang, seperti seekor naga. Hanya wajah dan dadanya saja yang masih
berwujud manusia.
“Isteriku,” kata Nusa. “Telur yang
kumakan itu mungkin telur naga. Seharusnya aku mendengar nasihatmu dan tidak
memakannya. Tapi menyesalpun tidak ada gunanya. Mungkin sudah takdirku berubah
menjadi seperti ini.” Isteri Nusa hanya bisa menangis karena tidak dapat
menolong suaminya.
Adik ipar Nusa kembali bersama warga
desa yang berniat menolong. Mereka terheran-heran melihat tubuh Nusa sekarang.
Mereka juga sedih karena tidak dapat membantu.
Nusa kemudian berpesan, “Malam nanti
akan terjadi hujan yang sangat lebat bersama badai. Sungai Rungan akan meluap
hingga membanjiri daerah sekitarnya.Kalian semua mengungsilah ke daerah yang
aman.”
Nusa mengucapka perpisahan kepada isteri
dan adik iparnya. Ia juga berpesan agar
isteri dan adik iparnya ikut mengungsi bersama warga. Kemudian ia meminta agar
tubuhnya yang sekarang sepanjang tiga kali pohon kelapa digulingkan ke sungai.
Ketika sudah berada di sungai, Nusa
berusaha menghindari sinar matahari yang terik dan berenang ke arah muara
sungai Kahayan. Nusa
Malam harinya turun hujan disertai angin
kencang. Petir menyambar-nyambardisertai suara gemuruh. Air sungai Rungan naik
dengan cepat hingga terjadi banjir besar. Beruntung, isteri dan adik ipar Nusa
dan warga desa sudah mengungsi begitu hujan mulai turun sehingga mereka
selamat.
Tubuh Nusa hanyut terbawa banjir hingga
tiba di sungai Kahayan. Sebelum mencapai lautan lepas, Nusa menemukan teluk
yang dalam. Ia merasa tempat itu cocok sebagai tempat tinggalnya. Apalagi di
sana banyak terdapat ikan beraneka jenis.
Karena tubuhnya besar, selera makan Nusa
juga sangat besar. Ia makan ikan banyak sekali. Ikan yang hidup di muara itu menjadi
cemas. Mereka kemudian berunding agar dapat mencegah Nusa memangsa mereka
sampai habis.
Ikan saluang mempunyai rencana yang
kemudian disetujui oleh semua ikan. Ikan saluang kemudan diutus untuk menemui
Nusa.
“Tuan naga,” kata ikan saluang. “Apakah tuan
pernah bertemu dengan naga yang tinggal di laut?”
“Belum pernah,” kata Nusa. “Mengapa kau
bertanya begitu”
“Berhati-hatilah, Tuan,” kata ikan
saluang “Naga laut itu selalu menantang naga-naga lain, dan ia selalu menjadi
pemenangnya.”
“Benarkah?” tanya Nusa. Hatinya geram
mendengar cerita ikan saluang. “Apakah naga itu tubuhnya besar? Lebih besar
mana dengan diriku?”
Ikan saluang mengamati tubuh Nusa,
“Tubuh tuan lebih besar dari dia,” katanya. “Tapi ia sangat cerdik. Sudah
banyak naga dari sungai ini dikalahkannya. Ada juga yang mati. Yang masih hidup
terpaksa lari ke tempat lain.”
“Di mana naga laut itu?” kata Nusa
geram.
“Tadi aku melihatnya berenang ke arah
muara sungai ini.”
“Akan kudatangi dia,” kata Nusa.
“Jangan, tuan,” kata ikan saluang.
“Lebih baik tuan menunggu di sini, dengan demikan tuan akan dapat menyimpan
tenaga sampai naga itu datang.”
“Benar juga,” kata Nusa dalam hati.
“Kalau aku pergi ke laut lepas, bisa-bisa aku sudah kehabisan tenaga ketika
bertemu dengan naga itu.”
Nusa pun menunggu. Ia berjaga selama
berhari-hari. Ia tidak berani tidur karena takut naga laut itu datang ketika ia
tidur. Tapi ia tidak dapat terus berjaga, Akhirnya ia mengantuk dan tertidur.
Ketika Nusa sudah pulas tertidur, ikan
saluang berteriak di dekat ekor Nusa, “Tuan! Bangunlah! Naga laut itu datang!”
Nusa yang terkejut karena teriakan itu
memutar tubuhnya dengan cepat. Akibatnya air sungai bergolak denga hebat. Nusa
mengira gerakan air sungai itu karena musuhnya datang. Nusa melihat ekor naga
di depannya. Digigitnya ekor naga itu kuat-kuat hingga putus. Nusa sangat
kesakitan karena ia menggigit ekornya sendiri sampai putus.
Ikan-ikan sudah bersiap-siap di sekitar
Nusa. Ketika mereka melihat Nusa terluka, mereka langsung menyerangnya
beramai-ramai. Mereka menggigiti luka Nusa sehingga Nusa tidak berdaya dan
kehabisan darah. Akhirnya Nusa tewas.
Jasad Nusa menjadi makanan ikan-ikan
hingga tinggal tulang-tulangnya saja. Tulang-tulang itu lambat laun tertimbun
lumpur sehingga ditumbuhi pepohonan dan kemudian membentuk sebuah pulau di
muara Sungai Kahayan. Warga menyebutnya pulau Nusa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar