Dahulu kala, di sebuah desa hiduplah tujuh orang
gadis bersaudara. Mereka yatim piatu.
Dari ketujuh gadis itu, enam orang adalah saudara kandung, sedangkan si
bungsu yang bernama Nyai Bungsu Rarang adalah saudara tiri mereka.
Keenam gadis itu sangat malas dan sombong. Bahkan
mereka sering iri kepada orang lain, terutama kepada adik bungsu mereka
sendiri. Nyai Bungsu Rarang disukai orang-orang di desa mereka karena rajin dan
baik hati.
Mereka bertujuh hidup dari membantu orang menumbuk
padi dan mendapat sedikit beras sebagai upahnya. Tapi hanya Nyai Bungsu Rarang
yang bekerja. Kakak-kakaknya tidak pernah membantunya. Nyai Bungsu Rarang
mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah tiap hari. Pendeknya, hampir semua
pekerjaan dilakukan sendiri oleh si bungsu.
Pada suatu hari, Nyai Bungsu Rarang disuruh mencuci
pakaian. Tidak tanggung-tanggung, ia harus mencuci pakaian seisi rumah. Si
bungsu tanpa sengaja menghilangkan satu baju kakaknya. Sepulang kerumah, si
bungsu dimarahi habis-habisan. Dengan sedih si bungsu lari ke tepi sungai dan
menangis. Tiba-tiba bungsu melihat seekor ikan mas melompat-lompat di permukaan
air. Ikan itu cantik sekali, sisik-sisiknya berkilau keemasan.
“Mengapa kau menangis?” kata ikan mas itu.
Nyai Bungsu Rarang terperanjat, tapi ia merasa
senang sekali. Ia menceritakan kejadian di rumah tadi. Ikan itu menghiburnya.
Ikan itu diberinya nama si Leungli.
Sejak itu Nyai Bungsu Rarang mempunyai sahabat baru
yang mau mendengarkan keluh kesahnya, yang tak ingin ia ceritakan kepada orang
lain.
Tiap hari Nyai Bungsu Rarang cepat-cepat
menyelesaikan pekerjaannya di rumah dan
diam-diam pergi ke sungai. Ia membawa sedikit nasi untuk Leungli.
Di tepi sungai ia mencelupkan ujung rambutnya yang
panjang dan menyanyi,
“Leungli,
Leungli, si bungsu datang,
Tak lupa aku
bawakan sedikit nasi,
Ayo cepat ke
mari.”
Si Leungli pun muncul dan makan nasi dari tangan di
bungsu. Setelah itu mereka bercakap-cakap. Si bungsu sangat senang dengan
kehadiran sahabat barunya itu. Tapi ia tidak dapat berlama-lama di tepi sungai
karena takut kakaknya mencarinya.
Pada suatu hari, kakak-kakaknya mencari si bungsu
karena ingin menyuruhnya melakukan sesuatu. Nyai Bungsu Rarang tidak ada di
rumah. Dengan kesal mereka menunggu bungsu pulang. Ketika si bungsu pulang,
kakak-kakaknya menanyainya ke mana ia pergi. Si bungsu tidak menjawab.
Esok harinya si bungsu ke sungai lagi untuk menemui
ikan mas kesayangannya. Kali ini ia juga membawa sedikit pakaian kotor untuk
dicucinya di sungai. Dengan demikian ia bisa menjawab bila kakaknya bertanya.
Pada suatu hari gadis kedua mencari bungsu untuk
disuruh memetik buah di hutan. Si Bungsu tidak ada di rumah. Ia lalu bertanya
kepada yang lain. “Kamu melihat si bungsu?” Seorang saudaranya menjawab, “Tadi
aku melihat bungsu membawa cucian ke sungai.” “Kemarin ia juga pergi ke
sungai,” jawab si sulung. “Aneh, sekarang si bungsu tiap hari ke sungai.”
Tak lama kemudian si bungsu pulang. Semua kakaknya
mengamatinya dengan cermat sekaligus curiga.
“Dari mana kau, bungsu?” tanya si sulung. “Aku
barusan mencuci di sungai, kak.” Bungsu lalu cepat-cepat pergi ke halaman
belakang untuk menjemur cuciannya.
Si sulung mengumpulkan adik-adiknya. “Pasti si
bungsu menyembunyikan sesuatu.” “Benar, kak,” kata seorang adiknya. “Lihatlah,
wajahnya berseri-seri.” Seorang lagi
berkata, “Mungkin ia pergi untuk bertemu seseorang.”
Mereka semua merasa tidak senang karena si bungsu
pergi tanpa mereka ketahui ke mana. Si sulung kemudian menyuruh adik-adiknya
mengikuti Nyai Bungsu Rarang.
Esok harinya, Nyai Bungsu Rarang pergi ke sungai. Dua orang
kakaknya mengikutinya dan mengamatinya dari kejauhan. Mereka melihat si bungsu
membungkuk di tepi sungai. Ia mencelupkan ujung rambutnya dan menyanyi,
“Leungli,
Leungli, si bungsu datang,
Tak lupa aku
bawakan sedikit nasi,
Ayo cepat ke
mari.”
Mereka terkejut melihat seekor ikan mas muncul dan
makan nasi dari tangan si bungsu. Setelah ikan itu makan, si bungsu mencuci pakaian
sambil bercanda dengan ikan itu.
Esok harinya, Nyai Bungsu Rarang diberi pekerjaan
banyak sekali. Ia sibuk terus sampai sore tiba. Nyai Bungsu Rarang sedih sekali
karena tidak dapat pergi ke sungai untuk bertemu si Leungli.
Malam itu, si sulung memanggil Nyai Bungsu Rarang,
“Bungsu, kau sibuk sekali hari ini. Sekarang makanlah. Kami sudah memasak
untukmu.” Si bungsu heran karena biasanya kakak-kakaknya tidak pernah memasak,
apalagi khusus untuk dirinya. Tapi ia senang karena akhirnya kakaknya mau
memperhatikannya.
Di meja sudah tersedia banyak sayur dan ikan goreng.
Mereka semua makan dengan lahap. Si sulung bahkan memaksa-maksa si bungsu
menambah nasi dan ikan goreng.
Setelah selesai makan, si sulung bernyanyi,
”Leungli, Leungli,
si bungsu datang,
Sedikit nasi
akan menemanimu.
Aduh lezatnya
ikan goreng ini...”
Kakak-kakak si
bungsu meninggalkan meja makan sambil tertawa-tawa. Si bungsu yang baru
sadar bahwa si Leungli sudah dipotong dan mereka makan. Rupanya kakak-kakaknya
telah menangkap Leungli dengan menirukan caranya memanggil ikan mas itu.
Nyai Bungsu Rarang mengumpulkan tulang-tulang si
Leungli sambil menangis sedih. Satu-satunya sahabatnya sudah tiada. Si bungsu
menguburkan tulang-tulang si Leungli di halaman belakang rumah.
“Leungli,
maafkan aku,” kata si bungsu. “Aku tidak hati-hati sehingga kau celaka. Kau
sahabatku satu-satunya. Aku takkan pernah melupakanmu.”
Esok
harinya, tumbuh sebuah pohon di tempat si bungsu menguburkan si Leungli. Pohon
itu langsung menjadi besar. beberapa hari kemudian, buah-buah pohon itu mulai
muncul. Buah-buahnya berwarna keemasan dan berkilauan. Bungsu memetik sebuah
karena heran melihat buah yang tidak biasa itu. Buah itu terasa berat di
tangannya.
Si bungsu
membawa buah itu ke ibukota kerajaan dan menjualnya. Teryata buah itu emas
murni. Bungsu mendapat uang yang banyak dari penjualan buah itu.
Si bungsu
sekarang hidup berkecukupan. Rumahnya yang dulu hanya gubuk reot sudah menjadi
rumah sederhana yang lebih layak. Ia selalu membantu orang lain yang
berkekurangan. Ia tetap membiarkan
kakak-kakaknya tinggal bersamanya dan ikut menikmati keberuntungannya.
Kakak-kakak
si bungsu tidak puas hanya ikut menikmati kekayaan si bungsu. Mereka ingin
memetik buah-buah itu sendiri dan mendapat kekayaan sendiri. Apalagi si bungsu hanya
memetik buah emas secukupnya saja.
Suatu
malam, ketika si Nyai Bungsu Rarang sudah tidur, mereka memetik buah-buah pohon
ajaib tanpa ijin. Tapi sungguh mengherankan, buah itu langsung lenyap di tangan
mereka. Mereka makin penasaran, semua buah dipetiknya, dan semua lenyap tanpa
bekas. Akhirnya kakak-kakak Nyai Bungsu Rarang yang iri hati itu harus puas
dengan pemberian si bungsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar