Bujang Katak



Dahulu kala, di sebuah dusun di pulau Bangka, hiduplah seorang wanita tua yang sangat miskin. Ia menghidupi dirinya hanya dengan mengerjakan sebidang ladang peninggalan orang tuanya. Usianya yang makin tua membuatnya tak bisa bekerja di ladang seperti orang lain. Ia sering berkhayal bahwa ia mempunyai anak yang membantu pekerjaannya. Bila ia mempunyai anak, pasti pekerjaannya tidak seberat sekarang ini dan hasil ladangnya pasti lebih banyak.
Tak henti-henti ia berdoa kepada Tuhan, agar dikarunia seorang anak. Bahkan ia rela bila anaknya itu berwujud seekor katak. Akhirnya wanita tua itu mengandung, dan ketika saatnya tiba, ia melahirkan. Tapi anaknya tidak seperti bayi manusia tapi mirip seekor katak.

Wanita itu merawat dan menyayangi bayinya walaupun tubuhnya tidak seperti manusia pada umumnya. Penduduk kampung memanggil anak itu Bujang Katak dan tak jarang mereka mengolok-oloknya. Bujang Katak dan ibunya tak pernah menghiraukan perkataan para tetangganya. Bujang Katak hanya keluar rumah untuk membantu ibunya bekerja  di ladang.

Sang ibu pernah bercerita bahwa negeri mereka dipimpin seolah raja yang mempunyai tujuh orang puteri yang cantik jelita. Sejak ibunya bercerita, Bujang katak ingin mempersunting salah seorang puteri raja menjadi pendamping hidupnya. 

Bujang Katak sekarang sudah dewasa, Pada suatu hari, ia berkata kepada ibunya, “Bu, aku ingin meminang salah seorang puteri raja menjadi isteriku. Maukah ibu menghadap sang raja untuk menyampaikan keinginanku ini?”

Sang ibu terperanjat mendengarnya. Dengan hati-hati, ia berkata, “Nak, ibu tidak tahu apakah raja akan menerima pinanganmu. Raja tidak mungkin akan menerima pinangan dari seorang rakyat jelata seperti kita ini. Pasti ia menginginkan bangsawan atau pangeran menjadi suami anaknya.” Sang ibu berusaha membujuk Bujang Katak untuk mengurungkan niatnya menikah dengan puteri raja.

Bujang Katak terus meminta ibunya untuk meminang puteri raja. “Ibu, aku tahu bahwa tubuhku ini aneh sekali. Dan bukan orang sembarangan yang akan dipilih raja menjadi menantunya. Tapi tolonglah bu, kita ajukan pinangan kepada raja. Tidak apa-apa bila pinanganku ditolak. Tapi tolong ibu sampaikan permohonanku kepada raja.”

Akhirnya sang ibu mengalah. Ia pergi ke istana dan menghadap raja dan menyampaikan keinginan anaknya. Sang raja memanggil ketujuh puterinya untuk menemui ibu Bujang Katak. “Jadi ibu ingin meminang salah satu dari kami menjadi isteri anakmu?” tanya puteri tertua. Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia meludahi ibu tua itu, lalu keluar dari ruangan. Adik-adiknya melakukan hal yang sama, kecuali puteri bungsu yang merasa kasihan kepada si ibu dan tidak setuju dengan perbuatan kakak-kakaknya.

Dengan sedih, sang ibu pulang ke rumahnya. Melihat wajah ibunya yang murung, Bujang Katak tahu bahwa pinangannya tidak diterima dengan baik oleh puteri raja. Ia mendesak ibunya menceritakan kejadian yang dialami di istana. Dengan terpaksa ibunya menceritakan semuanya. “Bu, kalau begitu besok kita pergi ke istana!” kata Bujang Katak. Ibunya terperanjat, “Jangan memaksa, anakku. Ibu tidak mau kau mendapat perlakuan seperti yang ibu terima.” “Bu, bukankah aku sudah mengatakan kepada ibu, tidak apa-apa bila pinanganku ditolak. Tapi kita harus berusaha. Aku yakin puteri bungsu akan menerima pinangan kita.”

Apa pun yang dikatakan sang ibu, Bujang Katak tetap berkeras pergi ke istana dan menemui raja dan ketujuh puterinya.  Akhirnya esok harinya Bujang Katak dan ibunya pergi menghadap raja di istana.

Ketika Bujang Katak tiba di istana, semua pengawal dan pegawai istana mentertawakannya. Tapi itu tidak menyurutkan langkah dan niat Bujang Katak. Raja kembali memanggil puteri-puterinya. Pemuda itu mendapat perlakuan yang sama dengan yang diterima ibunya. Hanya puteri bungsu yang tidak meludahi Bujang Katak dan ibunya.

Raja memperhatikan puteri-puterinya. Ia heran mengapa puteri bungsunya tidak melakukan hal yang sama dengan kakak-kakaknya. Raja mengamati puteri bungsunya yang tertunduk.

Akhirnya raja berkata, “Bujang Katak, kau boleh menikahi satu dari ketujuh puteriku, tapi dengan syarat. Kau harus membangun jembatan emas dari rumah ibumu ke istana ini. Waktumu tujuh hari tujuh malam. Apakah kau sanggup?” Bujang Katak terdiam sesaat, lalu ia menjawab, “Ya, Yang Mulia, hamba sanggup."

“Kalau begitu, kau pulanglah dan mulai membangun jembatan emas itu,” kata raja. “Baiklah Yang Mulia.”
Sepanjang perjalanan pulang, sang ibu terus menangis. “Bagaimana kau bila membangun jembatan emas itu, nak?” katanya. “Ibu, jangan menangis. Bila Tuhan berkenan, aku pasti bisa memenuhi syarat raja. Percayalah, bu.”

Bujang Katak pergi ke tempat yang sepi untuk bertapa. Selama enam hari enam malam, tidak terjadi apa-apa. Tapi pada hari ketujuh terjadi keajaiban. Tubuh pemuda yang bentuknya mirip katak itu tiba-tiba bersinar keemasan. Kulit mengelupas dan Bujang  Katak berubah menjadi menjadi pemuda yang tampan dan gagah.

Kulit yang mengelupas berubah menjadi batangan-batangan emas begitu banyaknya.  Dengan penuh rasa syukur, Bujang Katak mengajak ibunya menyusun batangan emas menjadi jembatan dari rumahnya hingga ke istana.

Raja terkejut, ia tak menyangka Bujang Katak benar-benar memenuhi syarat yang dimintanya. Ia semula menagjukan syarat yang berat itu agar Bujang Katak mengurungkan niatnya menikahi puterinya. Raja pun menyuruh Bujang Katak dan ibunya menghadap di istana.

Ketika Bujang Katak dan ibunya menghadap, raja terkejut karena wanita tua itu didampingi seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tidak dilihatnya pemuda  yang tubuhnya mirip katak itu.
“Ibu, mana puteramu?” tanya raja. “Yang Mulia, ini anak hamba, Bujang Katak. Ia telah membangun jembatan emas seperti permintaan Yang Mulia.”
Raja pun memanggil ketujuh puterinya. Ia kemudian menyuruh puteri bungsu untuk menemui calon suaminya. Bujang Katak sangat bahagia karena ia sudah menyukai puteri bungsu sejak mereka pertama kali bertemu dan puteri itu mempunyai sifat yang jauh lebih baik daripada keenam kakaknya. Kakak-kakak puteri bungsu terkejut melihat pemuda yang mereka hina sekarang menjadi rupawan. Mereka juga menyesal karena puteri bungsu dipilih ayahanda mereka menjadi isteri Bujang Katak.

Bujang Katak dan puteri bungsu pun menikah. Raja menyelenggarakan pesta besar. Raja menyuruh  Bujang Katak dan ibunya ibunya tinggal di istana bersama keluarga raja.


Waktu berlalu. Raja makin tua dan ia memutuskan menyerahkan kerajaan kepada salah satu puteri dan suaminya. Raja memilih Bujang Katak menjadi penggantinya. Bujang Katak dan puteri bungsu memimpin kerajaan itu dengan bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar