Dahulu kala, di Betawi, hiduplah seorang
gadis yang sangat cantik. Namanya Jenab. Ia tinggal bersama
ibunya, karena ayahnya sudah meninggal. Ayah Jenab dulu adalah juragan yang
kaya raya dan terpandang di kampungnya. Jenab adalah anak satu-satunya yang sangar dimanjakan. Jenab bersama ibunya tinggal di sebuah rumah besar dan mewah
peninggalan ayahnya.
Jenab
seorang gadis jelita yang kaya raya. Ia sangat terkenal di kalangan pemuda di
Betawi. Banyak pemuda tertarik pada parasnya yang cantik dan ingin
memperistrinya. Jenab sudah cukup umur untuk berumah tangga, tapi tamoaknya ia belum ingin menikah. ia sangat
sombong. Ia menolak semua pemuda yang melamarnya. Ada saja alasannya, pemuda
ini jelek wajahnya, yang itu badannya pendek dan miskin. Perangai Jenab sangat buruk, ia suka
bersikap kasar kepada semua orang.
Walaupun Jenab sombong dan berperangai buruk, masih banyak pemuda yang mengagumi kecantikannya.
Akibatnya Jenab makin sombong dan kasar.
Ibu Jenab sangat sedih melihat
tingkah laku anaknya. Pada suatu hari ia berkata kepada Jenab, “Ibu sudah tua,
nak. Ibu ingin segera menimang cucu. Kau sangat sombing sehingga para pemuda
segan mendekatimu. Apakah kau tidak takut kelak tidak mempunyai suami? Ubahlah
tingkah lakumu, nak.”
Jenab tidak berubah. Makin banyak
pemuda yang ditolaknya. Jenab juga tidak peduli bila kata-katanya membuat orang
lain sakit hati. Ibunya akhirnya menyerah, tidak pernah memberi nasihat kepada
Jenab lagi.
Pada suatu hari, Jenab sedang
menyapu beranda. Seorang pemuda bernama Roing lewat. Kecantikan Jenab membuat
Roing terperangah. Ia mencoba berkenalan dengan gadis itu.
“Maaf, nona, boleh aku membantumu?”
Jenab menjawab dengan kasar, “Siapa
kamu? Aku tidak mengenalmu. Beraninya kamu menyapaku!”
Pemuda malang itu sangat kecewa
dan sakit hati. Roing berusaha melupakan pertemuannya dengan Jenab, tapi sekit
hatinya tak kunjung hilang. Akhirnya Roing berdoa kepada Tuhan agar dapat
melupakan gadis itu. Setelah berdoa, Roing tertidur. Ia bermimpi. Seorang bapak
tua berjenggot putih dan bersurban mendatanginya dan berkata, “Jangan bersedih. Gadis
itu bukan jodohmu. Kelak ia akan menerima balasan atas kesombongannya.”
Di kampung
itu juga hidup seorang perampok. Dulu ia menuntut ilmu jahat. Ia bertapa sebuah
gunung. Dalam tapanya perampok didatangi seorang jin. Jin itu mau menurunkan
ilmunya dengan satu syarat, perampok tidak boleh menikah seumur hidupnya. Jika
ia melanggar, ia akan berubah menjadi buaya. Perampok itu menyanggupinya.
Perampok itu kembali ke kampung
yang lama ditinggalkannya untuk mencari ilmu. Dengan ilmunya, ia tidak pernah
ketahuan pada saat melakukan kejahatan. Ia pun menjadi kaya raya dari hasil
merampok tanpa seorang pun mengetahuinya. Orang menghormatinya karena ia kaya dan ramah kepada semua orang.
Banyak orang ingin menjadikan
perampok itu sebagai menantu karena ia kaya. Tapi tak seorang wanita pun yang
menarik hatinya, karena ia selalu teringat perjanjiannya dengan jin.
Pada suatu hari perampok melihat
Jenab di depan rumahnya. Pemuda itu sangat tertarik pada Jenab, tapi gadis itu
segera masuk ke rumahnya.
Perampok itu melihat warung kopi
di dekat rumah Jenab. Ia singgah di sana. Ia bertanya kepada kepada wanita
pedagang kopi.
“Mpok, siapa gadis yang tinggal di rumah besar
itu?”
“Namanya Jenab. Cantik,
ya? Sayangnya ia sombong. Banyak orang melamarnya. Semua ditolak.
Apakah kau juga ingin memperistrinya? Jenab tidak akan menerimamu.”
Perkataan pedagang kopi membuat
perampok itu merasa tertantang. Hari berganti hari, ia makin ingin menikahi
Jenab. Ia terus memikirkan gadis itu. Ia tidak ingat lagi akan janjinya sendiri
untuk tidak menikah sampai akhir hayatnya.
Beberapa hari kemudian, perampok
datang ke rumah Jenab dan menyatakan keinginannya untuk menikahinya. Ibu Jenab sangat senang dengan kedatangan pemuda yang gagah dan tampan itu. Tutur bahasanya pun sopan. Dari pakaiannya tampak bahwa ia orang berada. Ibu Jenab berdoa dalam hati, semoga Jenab mau menerima pemuda itu menjadi suaminya.
Ternyata Jenab menerima lamaran pemuda itu. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah
selama tiga hari tiga malam.
Tak lama setelah menikah, Jenab
melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Mi’ing. Mi’ing dimanjakan oleh kedua
orang tuanya. Mi’ing tumbuh menjadi anak yang tampan, sayangnya perilakunya
buruk. Ia hanya mau berteman dengan anak-anak orang kaya. Ia juga suka merebut
barang milik orang lain.
Pada suatu malam Mi’ing dan
teman-temannya pergi mencuri buah-buahan di kebun milik pak Haji. Pak Haji
menjaga kebun buahnya tiap malam. Ketika Mi’ing masuk ke kebunnya untuk
mencuri, pak Haji menyabetkan tongkatnya untuk mengusir pada pencuri itu. Malang,
Mi’ing terkena pukulan keras dan tulang pingggulnya patah.
Mi’ing dibawa teman-temannya
kembali ke rumahnya. Ia berbohong kepada ibunya tentang kecelakaan yang
menimpanya. "Aku terjatuh dari pohon, bu Tolong, sakit sekali. Mungkin aku hampir mati," Mi;ing merengek manja. Jenab dan suaminya dengan kalut mencari tabib. Luka Mi’ing dapat diobati, tapi ia menjadi cacat.
Pada suatu malam, Jenab dan suaminya terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gemuruh. “Hai, perampok!
Kau ingkar janji. Sekarang kau akan menerima hukumanmu. Kau dan anakmu menjadi
buaya dan harta bendamu akan kembali ke tempat asalnya.”
Jenab kebingungan. Ia tidak
mengerti kata-kata yang baru didengarnya tadi. Tentu saja, seperti orang-orang lain,Jenab tidak tahu suaminya seorang perampok.
Ia ingin bertanya kepada suaminya.
Betapa terkejutnya ia melihat suaminya telah menjadi buaya. Jenab lari ke kamar
Mi’ing. Di sana ia hanya menemukan seekor buaya muda yang buntung ekornya di tempat tidur. Suami
dan anaknya telah menjadi buaya. Mi'ing yang cacat berubah menjadi buaya yang tubuhnya tidak sempurna. Setelah lama memandangi Jenab, kedua buaya itu merayap keluar dari rumah dan
berjalan ke sungai.
Jenab sekarang sendirian karena
ibunya telah meninggal. Tiap hari Jenab pergi ke sungai menemui kedua buaya
itu. Kesedihan hebat membuat wajah Jenab cepat tua. Wajahnya yang cantik berubah
menjadi keriput dan rambutnya yang panjang dan indah memutih. Jenab seolah berubah menjadi nenek-nenek.
Pada suatu hari, seperti biasa
Jenab pergi ke sungai. Ia memanggil nama suami dan anaknya. Hanya buaya buntung
yang muncul. Jenab mencari-cari suaminya. Ia berjalan menyusuri sungai. Buaya buntung berjalan mendahului Jenab. Tidak terlalu
jauh dari sana, buaya buntung mendatangi bangkai seekor buaya. Ia seolah menunggu ibunya di samping buaya mati itu. Jenab menangis sedih. Suaminya telah meninggal. Sejak itu
Jenab sebatang kara. Satu-satunya yang bisa menghibur hatinya adalah bertemu
dengan anaknya yang sekarang berwujud buaya buntung.