Dahulu kala, Vietnam diperintah oleh seorang raja yang
murah hati. Namanya raja Hung Vuong
ketiga.
Sang raja hanya mempunyai seorang puteri. Kemudian ia
mengangkat seorang anak laki-laki dari sebuah pulau yang jauh. Anak itu diberi
nama An Tiem dan dibesarkannya seperti puteranya sendiri.
An Tiem tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, trampil dan
bijaksana. Raja sangat mengasihinya. Raja memutuskan untuk menikahkan An Tiem
dengan puterinya. Kelak mereka berdua akan menggantikannya memerintah kerajaan
itu.
An Tiem menikah dengan puteri raja. Mereka saling
mencintai. Mereka mempunyai dua anak dan kehidupan mereka sangat bahagia.
Tapi beberapa bawahan raja merasa iri kepada An Tiem.
Lambat laun iri hati mereka tumbuh menjadi kebencian. Mereka mulai menyebarkan
fitnah, An Tiem dan puteri raja akan merebut kekuasaan. Tidak perlu waktu lama, desas desus itu terdengar oleh raja.
Raja sangat mencintai puteri dan menantunya. Tapi ia
mulai bertanya-tanya. Apakah cerita yang didengarnya itu benar? Apakah
anak laki-laki kecil yang disayanginya dan dibesarkannya sampai dewasa bahkan
dinikahkannya dengan puterinya adalah lelaki yang tidak tahu membalas budi dan akan
berbuat jahat kepadanya? Apakah puteri kesayangannya akan membantu suaminya
untuk menghancurkan ayahnya sendiri?
Raja mulai berpikir, “Suatu saat nanti, mereka bisa mengkhianatiku.
Aku tak boleh membiarkan itu terjadi.”
Raja memutuskan untuk mengusir An Tiem. Hatinya berat,
tapi ketakutannya membuat raja membuang An Tiem beserta anak dan isterinya ke
sebuah pulau terpencil.
“Bila An Tiem benar-benar berani dan cerdas, mereka
akan bertahan hidup.” Ketika An Tiem dan keluarganya pergi, raja menyembunyikan
air matanya, karena sebenarnya ia yakin mereka tidak akan bertahan.
An Tiem dan keluarganya ditinggalkan di sebuah pulau kecil. Angin
bertiup kencang dan ombak besar memukul-mukul pantai. Isteri An Tiem memandang
ke selilingnya. Pulau ini sepertinya tandus sekali. Ia terbiasa pada kehidupan
di istana yang mewah dan nyaman.
Puteri menangis sedih. Bagaimana ia dan
anak-anaknya dapat hidup di pulau ini? Hanya mereka berempat yang ada di sini. Tapi
ia mencintai An Tiem, dan bertekad untuk tetap menemaninya. Mereka berdua bekerja keras
untuk dapat hidup senyaman mungkin bersama anak-anak mereka.
Pada suatu hari, An Tiem berjalan-jalan di pantai. Ia melihat
burung-burung laut berbulu kuning di antara batu-batu karang. An Tiem mendaki
karang, ia melihat burung-burung itu mematuki biji-biji berwarna hitam. An Tiem
melihat beberapa biji itu tersebar di pasir pantai.
“Biji ini pasti berasal dari sejenis buah, tapi buah
apa? Burung-burung itu makan buahnya,” kata An Tiem dalam hati. “Sebaiknya aku
tanam saja biji ini. Buahnya pasti bisa dimakan.”
An Tiem menceritakan bagaimana ia menemukan biji-biji
hitam itu di pantai. “Biji-biji dimakan burung. Pasti baik juga untuk kita.”
Mereka mengolah tanah dan menanam biji itu.
Tak lama, biji-biji itu tumbuh menjadi tanaman
merambat. Bunga-bunga mulai muncul. Kemudian bunga-bunga hilang dan berubah
menjadi buah yang akhirnya tumbuh menjadi sebesar kepala manusia. Buah bulat
besar itu berwarna hijau, kulitnya halus dan licin.
An Tiem membelah satu buah itu. Ternyata kulit buah
itu tebal. Daging buahnya merah segar, dengan banyak biji hitam. An Tiem
mencium bau buah itu. Segar sekali. Ia mencobanya. Rasanya segar, dingin dan
manis sekali. Di tanah yang tandus itu, tumbuh buah lezat yang mengandung
banyak air.
An Tiem mengajak keluarganya mencoba buah itu. Semua menyukainya.
Dapatkah kamu menebak nama buah itu? Kamu pasti pernah memakannya. Itu buah
semangka merah.
An Tiem dan keluarganya memanen semangka. Mereka menyimpannya
di tempat yang aman. Mereka makan buahnya dan menyimpan bijinya untuk ditanam
lagi.
Hasil semangka mereka makin banyak, lebih banyak dari
kebutuhan mereka. Mereka mulai menjualnya kepada pelaut yang melintasi pulau
itu. Mereka menukar semangka dengan bahan makanan, pakaian, rempah-rempah,
bahkan mainan untuk anak-anak mereka. Pendeknya, mereka mendapat semua
keperluan mereka dari pertukaran dengan semangka.
Pada suatu hari, An Tiem duduk di pantai. Ia dapat
melihat tanah asalnya. Ia merindukan keluarga raja yang telah menjadi orang
tuanya. Tiba-tiba, ia mendapat gagasan. Ia mengambil beberapa semangka. Ia menuliskan
namanya pada kulit semangka, lalu menghanyutkannya di ombak laut.
Beberapa hari kemudian An Tiem menghanyutkan semangka lagi. Demikianlah, ia mengirimkan semangka melalui laut tiap beberapa hari sekali, dengan harapan keluarga istana menemukannya
Pelayan raja menemukan buah hijau yang aneh di pantai
di dekat istana. Melihat nama An Tiem di setiap buah itu, mereka mengumpulkannya dan membawanya kepada raja.
Raja melihat nama An Tiem pada kulit semangka. Hatinya berbunga. “Ia tidak
meninggal,” katanya.
Raja mencoba buah yang baru pertama kali dilihatnya
itu. Ia menyukai rasanya. Pikirannya melayang kepada puteri dan puteranya dan
cucu-cucunya. Ia menyesal telah mempercayai cerita orang tanpa bukti. Harusnya ia
lebih percaya bahwa anak dan menantunya tidak akan berbuat jahat kepada dirinya. Ia malah membuang mereka ke pulau yang
tandus, di mana mereka menderita. Ia bersyukur mereka bertahan hidup karena
gigih dan banyak akal.
Ia segera mengirim utusan untuk menjemput An Tiem dan isteri serta
anak-anaknya. An Tiem pun kembali ke istana bersama keluarganya.
Sejak itu, orang-orang Vietnam selalu bercerita tentang burung-burung laut dan
biji-biji hitam yang ajaib dan hadiah An Tiem yang manis, semangka merah.
http://www.fairy-tale.info/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar