Dahulu kala,
seorang janda hidup di sebuah desa di Kaimantan Barat bersama anak gadisnya.
Sejak suaminya
meninggal, sang ibu bekerja keras menjadi buruh tani. Ia membantu mengerjakan
sawah orang lain karena ia tidak mempunyai sawah sendiri.
Anak gadisnya
sudah beranjak dewasa dan mempunyai wajah yang cantik rupawan. Sayang, perilaku
gadis itu tidak secantik parasnya. Ia tidak pernah mau membantu ibunya bekerja.
Membersihkan rumah atau mencuci baju, sama sekali tak mau dikerjakannya. Apalagi
membantu ibunya di sawah. Ia hanya merias wajahnya saja, kemudian pergi ke rumah
teman-temannya.
Ketika ibunya
menerima upah untuk jerih payahnya di sawah, sang gadis sudah menunggu di
rumah. Begitu ibunya tiba di rumah, ia langsung meminta dibelikan baju atau
alat kecantikan. Kadang-kadang seluruh
uang hasil kerjanya ibunya habis sehingga tidak ada uang lagi untuk membeli
makanan atau keperluan lain.
Pada suatu hari, sang ibu pulang dari sawah. Ia merasa heran mengapa puterinya
tidak meminta uang. Si ibu berharap anaknya sudah mulai sadar dan merasa iba
pada ibunya.
Ternyata tidak
demikian. “Bu, besok ibu pergi ke pasar ya bu,” kata gadis itu.
“Ibu besok
bekerja di sawah, nak,” jawab ibunya. “Sudah musim tanam, ibu harus bekerja
tiap hari.”
“Sehari saja
ibu tidak ke sawah kan tidak apa-apa, bu,”
kata gadis itu lagi. “Ibu pergi ke pasar saja, belikan aku bedak yang
baru datang di kota. Semua temanku sudah membelinya.”
“Kau ajaklah
temanmu ke pasar, nak. Ibu tidak tahu bedak seperti apa yang kau inginkan.” Ibu
itu tahu, bila ia salah membelikan bedak, anak gadisnya akan marah dan membuang
bedak itu. Dan ia akan meminta ibunya membeli bedak yang diinginkannya.
“Aku tidak mau
pergi bersama temanku,” kata gadis itu sambil cemberut. “Nanti mereka tahu
bahwa uangku hanya sedikit,”
“Kalau begitu
besok kau ikut ibu ke kota.”
Gadis itu tidak
mau ikut ke pasar di kota tapi ibu memaksanya. Karena ingin membeli bedak itu,
akhirnya ia mau juga pergi dengan ibunya.
Esok harinya,
mereka berdua berangkat ke kota. Sang gadis memakai bajunya yang paling bagus,
sedangkan ibunya memakai baju yang sudah tua.
Perjalanan ke
kota cukup jauh. Hari makin siang dan matahari makin terik. Si gadis berpayung
agar terlindung dari panas matahari. Ibunya dibiarkannya kepanasan.
Mereka
berpapasan dengan seorang pemuda. “Nona,” kata pemuda itu, “mengapa kau memakai
payung sendiri saja? Lihat ibumu kepanasan.”
“Oh, tidak
apa-apa,” kata gadis itu sambil mempercepat langkahnya sehingga ibunya
tertinggal di belakang.
Tak lama kemudian,
mereka bertemu dengan orang dari desa tetangga mereka. Orang itu mengenal gadis
itu tapi tidak pernah bertemu dengan ibunya. Ia menyapa, “Berjalanlah perlahan
sedikit, nona. Ibumu tertinggal.”
“Kau kira ia ibuku?” gadis itu tertawa. “Bukan,
ia bukan ibuku.”
“Kukira kalian pergi bersama-sama.”
“Dia memang bersama-sama, tapi dia bukan
ibuku.”
“Bukan ya?” kata orang itu lagi. “Wajah
kalian mirip.”
“Masa kami mirip?” kata gadis itu, ia
mulai kesal. “Dia kan pembantuku.”
Gadis itu makin mempercepat langkahnya sampai setengah
berlari. Setelah orang tadi tidak terlihat lagi, ia berteriak pada ibunya. “Ayo
bu, cepatlah sedikit. Aku ingin segera ke pasar lalu pulang. Ibu membuatku malu
saja!”
Ibu terkejut dan sedih sekali mendengar
kata-kata anaknya. Ia berhenti berjalan dan hanya berdiri diam. Dalam hati ia
memohon kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka.
Gadis itu tiba-tiba sadar bahwa ibunya
tidak mengikutinya. Ia sangat marah. Ia berkata, “Sudah ibu pulang saja. Berikan
uangnya, aku sendiri saja ke pasar.”
Ia ingin menghampiri ibunya dan meminta
semua uangnya. Tapi ia tidak dapat mengangkat kakinya. Kedua kakinya kaku dan
tidak dapat bergerak. Bahkan kakinya mulai menghitam. Ia menyentuh kakinya yang
sudah berubah menjadi batu.
“Ibu!” jeritnya ketakutan. “Kenapa
kakiku,bu? Kakiku jadi batu!”
Sekarang ia tahu bahwa ia mendapat hukuman
karena durhaka kepada ibunya. “Ibu, tolong! Ampuni aku.”
“Aku akan menjadi anak baik, bu... Ampuni
aku.”
Sang ibu sangat menyesal. Tapi tidak ada
yang dapat dilakukannya. Perlahan-lahan seluruh tubuh gadis itu berubah menjadi
batu. Ia menangis. Bahkan ketika tubuhnya sudah membatu seluruhnya, ia masih menitikkan
air mata.
Kisah ini masyarakat setempat dianggap
benar-benar terjadi. Batu yang dipercaya merupakn penjelmaan gadis cantik yang
durhaka kepada ibunya itu masih ada sampai sekarang dan disebut Batu Menangis.