Legenda Prabu Aji Saka

Aji Saka berkelana untuk menyebarkan agama. Abdinya yang setia, Dora dan Sembada selalu mendampinginya. Sudah lama Aji Saka ingin mengunjungi pulau Jawa dan menyebarkan agama di sana. Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, Aji Saka singgah di Nusa Majedi (pulau Bawean). Mereka tinggal di sana beberapa lama, kemudian Aji Saka memutuskan untuk mengajak Dora ke pulau Jawa. Sembada akan tetap tinggal di Nusa Majedi sampai Aji Saka kembali. Sebelum berangkat Aji Saka meminta Sembada menjaga pusakanya selama ia pergi. “Jangan berikan pusaka itu kepada siapapun, kecuali aku yang memintanya,” pesan Aji Saka kepada Sembada. 

Aji Saka dan Dora tiba di pulau Jawa. Mereka ada di kerajaan yang subur dan makmur yang bernama Medang Kamulan.  Tapi ada beberappa keanehan yang dilihat Aji Saka. Desa-desa tampak sepi, seperti tidak berpenghuni. Kalau pun ada beberapa orang di desa, mereka tergesa-gesa pergi dan tampak ketakutan. Mereka membawa banyak pakaian dan perlengkapan lain seolah tidak akan kembali lagi ke rumah mereka.

Aji Saka tiba di rumah Kaki Grenteng. Kakek tua itu menerima mereka berdua dengan ramah. Kaki Grenteng memperkenalkan putrinya Roro Congkek kepada Aji Saka. Aji Saka menerima tawaran keluarga itu untuk tinggal di rumah mereka sebelum melanjutkan perjalanan.

Selama tinggal di rumah Kaki Grenteng, Aji Saka mendengar cerita tentang kerajaan Mendang Kamulan. Raja Medang bernama Prabu Dewata Cengkar yang konon bukan manusia biasa, tapi keturunan raksasa. Perilakunya pun tidak seperti manusia pada umumnya. Ia sangat kasar dan kejam. Bahkan Dewata Cengkar dulu merebut kerajaan Galuh dari ayahnya sendiri, Prabu Watu Gunung. Dewata Cengkar kemudian menyatukankerajaan Galuh dengan kerajaan Medang Kamulan. Sedangkan sang ayah, dikabarkan tewas dalam pertempuran melawan Dewata Cengkar, anaknya sendiri.

Beberapa hari kemudian, datanglah sekelompok prajurit. Mereka mengatakan akan membawa Roro Congkek ka istana atas perintah Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka tidak tahu mengapa Roro Congkek akan dibawa ke istana, tapi melihat gadis itu dan ayahnya menangis ketakutan, Aji Saka berusaha mencegah Roro Congkek dibawa pergi.

Aji Saka menemui prajurit dan mengatakan Roro Congkek sedang sakit keras, dan ia bersedia menggantikannya. Para prajurit setuju. Aji Saka pun dibawa ke istana.

Aji Saka diantarkan menghadap raja Dewata Cengkar. “Kata prajurit, kau mau menggantikan gadis yang seharusnya dibawa ke mari.”
“Benar, tuan,”
“Kau tahu mengapa kau dibawa kemari?” kata Dewata Cengkar sambil mengamati Aji Saka dengan matanya yang tajam.
“Tidak, Tuan,”
“Baiklah, akan kukatakan kepadamu. Kau akan menerima kehormatan yang sangat besar, karena . kau akan menjadi santapanku.”

Aji Saka terkejut sekali. Ternyata itu sebabnya Roro Congkek dan ayahnya ketakutan. Denikian juga pada warga desa yang meninggalkan rumahnya.  Tapi Aji Saka tidak menunjukkan perasaannya.

“Jadi kau bersedia?” tanya Prabu, “Jangan khawatir, setelah kau, gadis yang sekarang kau gantikan juga akan menerima kehormatan yang sama.”
“Aku bersedia, tapi aku minta sesuatu sebelum aku menjadi santapanmu.”
“Apa permintaanmu?”
Aji Saka melepaskan ikat kepalanya. “Aku hanya minta tanah seluas ikat kepalaku ini. Aku minta tuan Prabu mengukurnya sendiri. ”

“Hanya itu permintaanmu?” Dewata Cengkar sudah tak sabar ingin segera menyantap Aji Saka. Makin cepat permintaan Aji Saka dipenuhi, makin cepat juga keinginan Dewata Cengkar terpenuhi. Setelah itu Aji Saka juga tidak dapat menuntut tanah yang dimintanya itu, demikian pikiran Dewata Cengkar.  “Sekarang juga kita ukur tanah yang kau minta itu. Ayo kita ke alun-alun.”

Dewata Cengkar diiringi prajuritnya dan Aji Saka pergi ke alun-alun. Aji Saka menyerahkan ikat kepalanya. Dewata Cengkar menggelarnya di tanah. Ajaib! Ikat kepala yang semulatampak kecil itu langsung menutup seluruh alun-alun, dan terus melebar sehingga Prabu Dewata Cengkar mundur. Ikat kepala itu seolah terus mendorong sang prabu mundur. Sampai akhirnya Dewata Cengkar terdesak sampai di sebuah tebing yang menupakan tepi Laut Selatan. Raja yang kejam dan bengis itu jatuh ke laut dan berubah menjadi buaya putih. 

Aji Saka mengambil ikat kepalanya dan memakainya. Ikat kepala itu kembali ke ukurannya semula. Para prajurit dan rakyat yang menyaksikan kejadian itu bersorak. Mereka sudah bebas dari Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka pun diangkat menjadi raja.

Baca kisah selanjutnya tentang Aji Saka dalam Asal Mula Huruf Hanacaraka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar